- Sara Schonhardt/The Wall Street Journal
- Biji kopi yang belum
dipanggang, kiri, dan yang baru saja dipanggang di kantor pusat Klasik
Beans, Garut, Jawa Barat, 1 November 2014.
GUNUNG PUNTANG, Jawa Barat—Dikelilingi oleh gunung berapi yang
menjadikan tanah Gunung Puntang salah satu yang tersubur di Indonesia,
anggota koperasi Klasik Beans mengendus, mencicipi, dan mendesir cangkir
kecil kopi layaknya para
sommelier dengan anggur
vintage-nya.
Anggota koperasi dari beragam profesi ini, sebagian besar di
antaranya sukarelawan pencari dan penyelamat (SAR), membanggakan upaya
mereka dalam menghasilkan rasa kopi yang sempurna serta berbagai macam
biji kopi baru. Dengan spesialisasi kopi bercita rasa premium yang
langka, Klasik dikenal dengan produk bernama Sunda Hejo. Biji kopi
Arabika dari hutan ini membuat tenar nama Klasik di antara para pembeli
kopi spesial alias
specialty coffee.
Sunda Hejo adalah satu dari empat variasi kopi utama yang diangkat
Klasik guna mengubah wajah industri kopi Indonesia. Beberapa produsen
kopi spesial menilai Indonesia masih memandang kopi sebagai komoditas
produksi massal, seperti batu bara atau minyak kelapa sawit, ketimbang
sesuatu yang dikonsumsi manusia.
“Jika kita memandang kopi sebagai komoditas dan bukan minuman, maka
kita akan memperlakukannya seperti jagung untuk ayam,” kata Eko
Purnomowidi, salah satu pendiri Klasik Beans.
Indonesia telah menanam kopi sejak tanaman itu dibawa oleh Belanda
pada abad ke-17. Nusantara adalah produsen terbesar kopi ketiga di dunia
setelah Brasil dan Vietnam. Keduanya unggul jauh dari segi volume
ekspor. Brasil mengekspor sekitar 31,6 juta karung kopi berbobot
masing-masing 60 kilogram pada musim tanam 2013-2014, sementara
Indonesia hanya 9,7 juta karung, menurut Organisasi Kopi Internasional
(ICO). Data Kementerian Perdagangan menunjukkan ekspor kopi Indonesia
tahun lalu tercatat sebesar $1,17 miliar atau setara Rp14,5 triliun
dengan kurs saat ini.
- Sara Schonhardt/The Wall Street Journal
- Moch. Sahpii Jaelani, petani kopi, memeriksa tanaman kopinya di Garut, Jawa Barat, 2 November 2014.
Kopi tumbuh dengan baik di tanah Jawa yang subur—sampai-sampai kata
“Java” sudah identik dengan kopi di negara-negara Barat. Meski demikian,
reputasi Indonesia dalam menghasilkan kopi berkualitas tinggi masih
tertinggal dari negara seperti Kolombia, Brasil, dan Etiopia.
Kebanyakan kopi yang dihasilkan Indonesia adalah biji Robusta
berkualitas rendah, yang harganya lebih murah ketimbang Arabica di pasar
internasional.
Eko dan anggota inti Klasik Beans mencoba mengubah hal tersebut
dengan mengajarkan teknik-teknik perbaikan kualitas kopi Indonesia
kepada petani. Mereka juga ingin meningkatkan taraf hidup petani kopi.
Klasik berdiri pada 2008 sebagai sebuah kelompok penikmat kopi,
sebelum namanya mulai dikenal oleh beberapa pembeli di Amerika Serikat
(AS) dan Eropa. Beberapa klien koperasi ini antara lain peritel Whole
Foods dan pemanggang kopi kecil seperti Sweet Maria’s, Intellegencia,
dan Four Barrels. Sekitar 90% kopi produksi Klasik ditujukan untuk
ekspor. Pesanan pun meningkat seiring dengan kian tenarnya reputasi
Klasik berkat kopi kualitas tinggi yang dihasilkannya. Volume ekspornya
meroket 100 kali lipat menjadi 400 ton sejak 2009, setahun setelah
Klasik didirikan dengan hanya beberapa puluh petani. Kini, permintaan
yang diterimanya melebihi pasokan.
Klasik berharap dapat melipatgandakan produksinya saat ini dalam
waktu dua tahun ke depan. Pada 2015, koperasi ini berharap menambah
jumlah petaninya menjadi hampir 1.200 orang—lebih dari dua kali lipat
anggotanya sekarang.
Pembeli mengapresiasi upaya Klasik tersebut.
“Mereka telah meningkatkan proses” dengan menangani petani secara
lebih baik, “sehingga mereka menghasilkan banyak kopi yang lebih matang
dan mereka mengajarkan petani untuk memetik kopi secara lebih spesifik,”
kata Darrin Daniel, direktur sumber kopi untuk Allegro Coffee, anak
perusahaan Whole Foods. “Semua faktor itu akan menghasilkan satu cangkir
kopi yang lebih berkualitas.”
- Sara Schonhardt/The Wall Street Journal
- Silsilah dan riwayat kopi Indonesia seperti ditampilkan di kantor pusat Klasik Beans, Garut, Jawa Barat, 1 November 2014.
Klasik memupuk relasi dengan kelompok-kelompok petani dan mengajarkan
mereka soal kesehatan kopi. Koperasi ini juga mengajarkan cara
mendirikan bisnis yang sukses dengan memakai metode yang dapat
meningkatkan panen dan kualitas biji kopi.
Klasik juga membantu petani berhubungan langsung dengan pembeli,
sehingga pembeli dapat melihat bagaimana biji kopi ditumbuhkan dan
dirawat, kata Deni, Direktur Klasik.
Thompson Owen dari Sweet Maria’s memesan sekitar 1.200 kantung kopi
setiap tahunnya dari Indonesia. Ia biasanya membeli beberapa puluh
kantung kecil dari satu area, pegunungan, atau kelompok petani. Menurut
Owen, kopi spesial dijual sampai $1,90 lebih mahal ketimbang harga
pasar. Awal bulan ini, rata-rata harga Robusta adalah $1,04/pon,
sementara indeks acuan New York untuk Arabika adalah sekitar 99 sen
lebih mahal. Klasik menjual Sunda Hejo sekitar $3,60 per pon, atau
sekitar Rp45 ribu.
Sebagian pendapatan Klasik langsung dikembalikan ke petani. Rata-rata
petani yang bergabung dengan Klasik Beans menghasilkan antara Rp40-50
juta per tahun, dua kali lipat upah minimum di beberapa area pedesaan di
Indonesia.
Beberapa petani pun tertarik bergabung dengan koperasi ini setelah
mendengar bahwa anggota Klasik meraih pendapatan lebih banyak. Di sebuah
gubuk di gunung di atas desa Cempaka Mulia, petani Ayi Sutedja, yang
sempat bekerja sebagai tukang listrik, menyebut kopi sebagai
“keajaiban.”
Meski demikian, membangun pasar kopi spesial tidak akan mudah.
Masalah pertanian dan kebiasaan pemrosesan yang tidak layak menjadi
hambatan produksi biji kopi berkualitas dan menjadikan Indonesia pasar
yang lebih berisiko, kata pengamat industri. Seperti negara penghasil
kopi lainnya, sebagian besar pertanian kopi di Indonesia dilakukan oleh
sekelompok petani kecil yang harus berhubungan dengan pedagang besar
atau tengkulak untuk memasarkan kopinya.
Moelyono Soesilo, direktur pemasaran dan pembelian eksportir kopi di
PT Taman Delta Indonesia dan anggota Asosiasi Eksportir Kopi Indonesia
(AEKI), mengaku ada masalah dengan kualitas kopi negara ini. Ia
mengatakan perusahaannya bekerja sama dengan petani untuk meningkatkan
kualitas, sementara AEKI fokus mempromosikan kopi Indonesia ke negara
berkembang seperti Timur Tengah.