Kamis, 14 April 2016

Klasik Beans: Kisah Sukses Koperasi Kopi

Sara Schonhardt/The Wall Street Journal
Biji kopi yang belum dipanggang, kiri, dan yang baru saja dipanggang di kantor pusat Klasik Beans, Garut, Jawa Barat, 1 November 2014.
GUNUNG PUNTANG, Jawa Barat—Dikelilingi oleh gunung berapi yang menjadikan tanah Gunung Puntang salah satu yang tersubur di Indonesia, anggota koperasi Klasik Beans mengendus, mencicipi, dan mendesir cangkir kecil kopi layaknya para sommelier dengan anggur vintage-nya.
Anggota koperasi dari beragam profesi ini, sebagian besar di antaranya sukarelawan pencari dan penyelamat (SAR), membanggakan upaya mereka dalam menghasilkan rasa kopi yang sempurna serta berbagai macam biji kopi baru. Dengan spesialisasi kopi bercita rasa premium yang langka, Klasik dikenal dengan produk bernama Sunda Hejo. Biji kopi Arabika dari hutan ini membuat tenar nama Klasik di antara para pembeli kopi spesial alias specialty coffee.
Sunda Hejo adalah satu dari empat variasi kopi utama yang diangkat Klasik guna mengubah wajah industri kopi Indonesia. Beberapa produsen kopi spesial menilai Indonesia masih memandang kopi sebagai komoditas produksi massal, seperti batu bara atau minyak kelapa sawit, ketimbang sesuatu yang dikonsumsi manusia.
“Jika kita memandang kopi sebagai komoditas dan bukan minuman, maka kita akan memperlakukannya seperti jagung untuk ayam,” kata Eko Purnomowidi, salah satu pendiri Klasik Beans.
Indonesia telah menanam kopi sejak tanaman itu dibawa oleh Belanda pada abad ke-17. Nusantara adalah produsen terbesar kopi ketiga di dunia setelah Brasil dan Vietnam. Keduanya unggul jauh dari segi volume ekspor. Brasil mengekspor sekitar 31,6 juta karung kopi berbobot masing-masing 60 kilogram pada musim tanam 2013-2014, sementara Indonesia hanya 9,7 juta karung, menurut Organisasi Kopi Internasional (ICO). Data Kementerian Perdagangan menunjukkan ekspor kopi Indonesia tahun lalu tercatat sebesar $1,17 miliar atau setara Rp14,5 triliun dengan kurs saat ini.
Sara Schonhardt/The Wall Street Journal
Moch. Sahpii Jaelani, petani kopi, memeriksa tanaman kopinya di Garut, Jawa Barat, 2 November 2014.
Kopi tumbuh dengan baik di tanah Jawa yang subur—sampai-sampai kata “Java” sudah identik dengan kopi di negara-negara Barat. Meski demikian, reputasi Indonesia dalam menghasilkan kopi berkualitas tinggi masih tertinggal dari negara seperti Kolombia, Brasil, dan Etiopia.
Kebanyakan kopi yang dihasilkan Indonesia adalah biji Robusta berkualitas rendah, yang harganya lebih murah ketimbang Arabica di pasar internasional.
Eko dan anggota inti Klasik Beans mencoba mengubah hal tersebut dengan mengajarkan teknik-teknik perbaikan kualitas kopi Indonesia kepada petani. Mereka juga ingin meningkatkan taraf hidup petani kopi.
Klasik berdiri pada 2008 sebagai sebuah kelompok penikmat kopi, sebelum namanya mulai dikenal oleh beberapa pembeli di Amerika Serikat (AS) dan Eropa. Beberapa klien koperasi ini antara lain peritel Whole Foods dan pemanggang kopi kecil seperti Sweet Maria’s, Intellegencia, dan Four Barrels. Sekitar 90% kopi produksi Klasik ditujukan untuk ekspor. Pesanan pun meningkat seiring dengan kian tenarnya reputasi Klasik berkat kopi kualitas tinggi yang dihasilkannya. Volume ekspornya meroket 100 kali lipat menjadi 400 ton sejak 2009, setahun setelah Klasik didirikan dengan hanya beberapa puluh petani. Kini, permintaan yang diterimanya melebihi pasokan.
Klasik berharap dapat melipatgandakan produksinya saat ini dalam waktu dua tahun ke depan. Pada 2015, koperasi ini berharap menambah jumlah petaninya menjadi hampir 1.200 orang—lebih dari dua kali lipat anggotanya sekarang.
Pembeli mengapresiasi upaya Klasik tersebut.
“Mereka telah meningkatkan proses” dengan menangani petani secara lebih baik, “sehingga mereka menghasilkan banyak kopi yang lebih matang dan mereka mengajarkan petani untuk memetik kopi secara lebih spesifik,” kata Darrin Daniel, direktur sumber kopi untuk Allegro Coffee, anak perusahaan Whole Foods. “Semua faktor itu akan menghasilkan satu cangkir kopi yang lebih berkualitas.”
Sara Schonhardt/The Wall Street Journal
Silsilah dan riwayat kopi Indonesia seperti ditampilkan di kantor pusat Klasik Beans, Garut, Jawa Barat, 1 November 2014.
Klasik memupuk relasi dengan kelompok-kelompok petani dan mengajarkan mereka soal kesehatan kopi. Koperasi ini juga mengajarkan cara mendirikan bisnis yang sukses dengan memakai metode yang dapat meningkatkan panen dan kualitas biji kopi.
Klasik juga membantu petani berhubungan langsung dengan pembeli, sehingga pembeli dapat melihat bagaimana biji kopi ditumbuhkan dan dirawat, kata Deni, Direktur Klasik.
Thompson Owen dari Sweet Maria’s memesan sekitar 1.200 kantung kopi setiap tahunnya dari Indonesia. Ia biasanya membeli beberapa puluh kantung kecil dari satu area, pegunungan, atau kelompok petani. Menurut Owen, kopi spesial dijual sampai $1,90 lebih mahal ketimbang harga pasar. Awal bulan ini, rata-rata harga Robusta adalah $1,04/pon, sementara indeks acuan New York untuk Arabika adalah sekitar 99 sen lebih mahal. Klasik menjual Sunda Hejo sekitar $3,60 per pon, atau sekitar Rp45 ribu.
Sebagian pendapatan Klasik langsung dikembalikan ke petani. Rata-rata petani yang bergabung dengan Klasik Beans menghasilkan antara Rp40-50 juta per tahun, dua kali lipat upah minimum di beberapa area pedesaan di Indonesia.
Beberapa petani pun tertarik bergabung dengan koperasi ini setelah mendengar bahwa anggota Klasik meraih pendapatan lebih banyak. Di sebuah gubuk di gunung di atas desa Cempaka Mulia, petani Ayi Sutedja, yang sempat bekerja sebagai tukang listrik, menyebut kopi sebagai “keajaiban.”
Meski demikian, membangun pasar kopi spesial tidak akan mudah. Masalah pertanian dan kebiasaan pemrosesan yang tidak layak menjadi hambatan produksi biji kopi berkualitas dan menjadikan Indonesia pasar yang lebih berisiko, kata pengamat industri. Seperti negara penghasil kopi lainnya, sebagian besar pertanian kopi di Indonesia dilakukan oleh sekelompok petani kecil yang harus berhubungan dengan pedagang besar atau tengkulak untuk memasarkan kopinya.
Moelyono Soesilo, direktur pemasaran dan pembelian eksportir kopi di PT Taman Delta Indonesia dan anggota Asosiasi Eksportir Kopi Indonesia (AEKI), mengaku ada masalah dengan kualitas kopi negara ini. Ia mengatakan perusahaannya bekerja sama dengan petani untuk meningkatkan kualitas, sementara AEKI fokus mempromosikan kopi Indonesia ke negara berkembang seperti Timur Tengah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar